Pernahkah Anda merasa dunia digital telah menguasai setiap detik kehidupan? Di saat kita semua diasumsikan terpaku pada layar, sebuah laporan justru mengungkap gelombang perubahan yang mengejutkan. Generasi Z, yang tumbuh besar dengan smartphone di genggaman, ternyata sedang melakukan pemberontakan diam-diam. Mereka mulai meninggalkan kebiasaan pasif scrolling media sosial dan beralih ke sesuatu yang lebih nyata, lebih berdenyut: aktivitas fisik di dunia nyata.
Strava, platform gaya hidup aktif global, baru saja merilis laporan Year In Sport: Trend edisi ke-12. Analisis terhadap miliaran aktivitas dan survei dari lebih dari 30.000 responden ini bukan sekadar kumpulan data statis. Ini adalah peta navigasi yang menunjukkan arah baru budaya kebugaran, dengan Gen Z sebagai kaptennya. Laporan ini mengonfirmasi sebuah pergeseran masif: dari durasi layar menuju pengalaman fisik yang autentik.
Jika sebelumnya identitas Gen Z lekat dengan TikTok dan Instagram, kini mereka sedang menulis ulang narasi tersebut dengan sepatu lari dan barbel. Apa yang mendorong perubahan ini, dan bagaimana hal itu membentuk kembali industri kebugaran, teknologi wearable, bahkan prioritas hidup? Mari kita selami temuan Strava yang tidak hanya informatif, tetapi juga menjadi cermin transformasi sosial yang sedang berlangsung.
Bangkitnya Generasi yang Bergerak: Dari Scrolling ke SweatingData Strava berbicara dengan jelas: Gen Z adalah kelompok dengan pertumbuhan tercepat di platform mereka. Ini bukan kebetulan. Lebih dari setengah generasi muda ini berencana menggunakan Strava lebih sering di tahun 2026. Sementara itu, penggunaan platform media sosial tradisional seperti Instagram dan TikTok diprediksi stagnan atau bahkan menurun. CEO Strava, Michael Martin, menangkap esensi perubahan ini. Gen Z, katanya, sedang mencari pengalaman fisik yang autentik, dan mereka melihat Strava sebagai partner untuk membentuk tatanan hidup yang lebih aktif.
Angka-angka di balik layanan menguatkan pernyataan tersebut. Sepanjang tahun, pengguna Strava dari berbagai generasi saling berbagi dukungan melalui 14 miliar "kudos". Yang lebih menarik adalah perbandingan waktu: untuk setiap 2 menit yang dihabiskan di aplikasi, pengguna menghabiskan 1 jam penuh untuk beraktivitas di dunia nyata. Rasio ini menunjukkan bahwa teknologi berperan sebagai katalisator, bukan tujuan akhir. Aplikasi seperti Strava digunakan untuk merekam, menganalisis, dan merayakan progres, bukan untuk menggantikan aktivitas itu sendiri.
Perubahan ini juga terlihat dari cara Gen Z membangun komunitas. Jumlah Klub baru di Strava melonjak hampir empat kali lipat, mencapai angka 1 juta. Ini menandakan transisi signifikan dari komunitas online yang abstrak menuju pertemuan langsung yang nyata. Klub lari, kelompok bersepeda, atau komunitas angkat beban menjadi ruang baru untuk bersosialisasi, berbagi passion, dan saling mendorong. Vibes komunitas yang mereka cari tidak lagi hanya berupa likes dan komentar, tetapi tepuk tangan nyata di garis finish dan semangat kolektif di gym.
Evolusi Olahraga: Lari Tetap Raja, Tapi "Strong is the New Skinny"Dalam peta olahraga, lari tetap mendominasi dan semakin hype, terutama dengan meningkatnya partisipasi dalam balapan. Gen Z menunjukkan antusiasme yang luar biasa, dengan kemungkinan 75% lebih tinggi menjadikan balapan sebagai motivasi utama dibandingkan generasi X. Namun, lanskap kebugaran mereka jauh lebih beragam dan seimbang. Lari kini diimbangi oleh popularitas berjalan kaki dan, yang paling mencolok, latihan beban atau weightlifting.
Tren angkat beban mengalami lonjakan, khususnya di kalangan perempuan Gen Z. Data Strava menunjukkan mereka dua kali lipat lebih aktif dalam merekam aktivitas angkat beban. Fenomena ini mengukuhkan pergeseran standar kecantikan dan kebugaran dari sekadar kurus menjadi kuat dan berdaya. "Strong is the new skinny" bukan lagi sekadar slogan, tetapi filosofi yang dijalani. Olahraga ini dipilih tidak hanya untuk membentuk tubuh, tetapi juga secara signifikan meningkatkan self-esteem dan kepercayaan diri.
Meski keragaman aktivitas meluas, tantangan tetap ada. Gen Z mengaku merasa dua kali lebih canggung saat mencoba olahraga baru, seperti ski. Hal ini mengungkap sisi lain dari generasi yang tampak percaya diri: keinginan untuk keluar dari zona nyaman meski dihantui rasa tidak aman. Dorongan untuk eksplorasi inilah yang mungkin akan terus mendorong inovasi dalam program pengenalan olahraga dan peran teknologi sebagai "pelatih virtual".
Di tengah tekanan inflasi yang mereka akui sendiri, sikap Gen Z terhadap pengeluaran justru mengejutkan. Alih-alih mengetatkan ikat pinggang untuk hal-hal yang dianggap non-esensial, 30% dari mereka berencana menaikkan pengeluaran untuk kebugaran di tahun 2026. Investasi terbesar mereka? Wearable device. Smartwatch dan fitness tracker bukan lagi aksesori, tetapi alat esensial untuk memandu dan mengukur progres.
Prioritas mereka dalam mengalokasikan dana bahkan lebih unik. Sebanyak 64% Gen Z menyatakan lebih memilih mengalokasikan uang untuk perlengkapan olahraga ketimbang untuk budget kencan. Pergeseran nilai ini signifikan. Bagi mereka, investasi pada diri sendiri melalui kesehatan dan penampilan fisik dinilai lebih bernilai dan memuaskan dalam jangka panjang. Lebih menarik lagi, banyak dari mereka yang justru menemukan jodoh dengan interest yang sama melalui aktivitas olahraga ini. Komunitas lari atau gym menjadi ruang pertemuan baru yang lebih organik, dibangun di atas fondasi passion bersama, bukan sekadar swipe di aplikasi kencan.
Baca Juga:
Bagi Gen Z, konsep liburan juga mengalami redefinisi. Olahraga saat liburan adalah keharusan, bukan sekadar pilihan. Mereka 23% lebih mungkin menganggap aktivitas fisik saat traveling sebagai kewajiban dibandingkan generasi X. Destinasi pun dipilih dengan pertimbangan petualangan. Mereka cenderung memilih lokasi domestik untuk mengeksplorasi alam, dengan kegiatan outdoor seperti hiking atau mengejar salju dan gunung menjadi alasan utama bepergian. Liburan bukan lagi tentang bersantai pasif, tetapi tentang mengisi ulang energi dengan cara yang aktif dan menantang.
Di balik semua aktivitas fisik ini, teknologi tetap menjadi tulang punggung yang cerdas. Smartphone masih menjadi perangkat paling banyak digunakan untuk merekam aktivitas, menunjukkan aksesibilitas yang tinggi. Namun, kecerdasan buatan (AI) mulai berperan lebih strategis. Sebanyak 46% responden mengaku dibantu oleh AI untuk berlatih lebih cerdas, baik dalam menyusun program, mencegah cedera, atau menganalisis performa. Ini adalah era di mana teknologi tidak menggantikan usaha manusia, tetapi mengoptimalkannya. Inovasi seperti platform AI yang mengubah cara mengakses sumber daya di sektor startup menunjukkan potensi serupa yang bisa diterapkan dalam personalisasi kebugaran.
Bahkan dalam hal gear, ada perubahan kekuasaan. ASICS Novablast berhasil merebut posisi sepatu lari terpopuler dari Nike Pegasus untuk pertama kalinya di data Strava. Ini bisa menjadi indikasi bahwa pilihan Gen Z didorong oleh performa, rekomendasi komunitas, dan mungkin nilai yang mereka rasa sesuai, bukan semata-mata brand legacy.
Ritme Global dan Semangat Indonesia yang Tak TerbendungData Strava juga memberikan potret menarik tentang ritme aktivitas global. Yogyakarta, Indonesia, tercatat sebagai kota yang paling rajin bergerak di pagi hari, dengan 55.4% aktivitas dilakukan antara pukul 4 hingga 7 pagi. Ini kontras dengan Seoul, Korea Selatan, yang justru lebih aktif di malam hari. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana budaya dan gaya hidup lokal membentuk pola kebugaran.
Di dalam negeri, Sulawesi Utara memimpin sebagai wilayah paling aktif dengan median langkah harian terbanyak, diikuti oleh Banten dan Sulawesi Selatan. Sementara untuk kecepatan berjalan kaki, Sulawesi Tenggara menjadi yang tercepat. Data ini bukan sekadar peringkat, tetapi bukti bahwa semangat untuk aktif bergerak menyebar ke seluruh penjuru tanah air dengan caranya masing-masing. Semangat ini juga tercermin dalam persiapan atlet, seperti yang terungkap dalam rahasia latihan pelari Indonesia yang dianalisis oleh Strava, menunjukkan pendekatan yang semakin data-driven.
Laporan Strava ini pada akhirnya bukan sekadar tentang olahraga. Ini adalah cerita tentang sebuah generasi yang memilih untuk mengambil kendali atas waktu dan perhatian mereka. Mereka beralih dari konsumsi pasif ke partisipasi aktif. Dari mencari validasi eksternal di media sosial ke membangun kepercayaan diri internal melalui pencapaian fisik. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, Gen Z justru menemukan nilai tertinggi dalam keringat, langkah kaki, dan komunitas nyata. Mereka tidak meninggalkan teknologi, tetapi menggunakannya dengan lebih sadar sebagai jembatan menuju kehidupan yang lebih memuaskan. Tren ini, jika konsisten, tidak hanya akan membentuk masa depan kebugaran, tetapi juga cara kita berinteraksi, bepergian, dan mendefinisikan kesejahteraan. Dan seperti perencanaan perjalanan yang kini bisa diubah menjadi pengalaman kreatif berkat inovasi AI, kebugaran pun sedang bertransformasi menjadi bagian integral dari gaya hidup yang penuh makna.