Technologue.id, Jakarta - Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) mengumumkan bahwa Apple telah melanggar undang-undang anti-diskriminasi terkait perekrutan karyawan. Akibatnya, Apple harus membayar denda sebesar Rp392 miliar.
Dilansir The Verge, Jumat (10/11/2023), total denda tersebut nantinya akan dibayarkan kepada para korban yang terdampak dan untuk denda perdata.
Baca Juga:
Apple Update Software, Perbaiki Masalah Pengisian Daya Nirkabel
DOJ menemukan bahwa Apple melanggar Undang-Undang Imigrasi dan Kebangsaan saat merekrut melalui program sertifikasi tenaga kerja tetap (PERM), yang memungkinkan perusahaan mempekerjakan pekerja asing secara permanen di AS.
Saat merekrut pekerja untuk program ini, DOJ mengatakan Apple tidak mengiklankan lowongan di situs webnya meskipun dalam praktiknya memasang posisi pekerjaan lain di situs web tersebut.
Tak hanya itu, DOJ juga membuktikan Apple hanya menerima lamaran posisi PERM melalui surat dan tidak mempertimbangkan lamaran tertentu dari karyawan Apple saat ini jika dikirimkan secara elektronik.
“Prosedur rekrutmen yang kurang efektif ini hampir mengakibatkan sedikit atau tidak adanya lamaran untuk posisi PERM dari pelamar yang izin kerjanya belum habis masa berlakunya,” kata DOJ.
Namun, Apple membantah terlibat dalam praktik perekrutan ilegal dalam ketentuan penyelesaiannya. Pasalnya, Apple sadar secara tidak sengaja tidak mengikuti standar DOJ dan menyetujui penyelesaiannya.
“Kami telah menerapkan rencana remediasi yang kuat untuk memenuhi persyaratan berbagai lembaga pemerintah seiring kami terus merekrut pekerja Amerika dan berkembang di AS," kata juru bicara Apple Fred Sainz.
Selain denda hingga Rp400 miliar, DOJ mengharuskan Apple melakukan rekrutmen yang lebih luas untuk semua posisi PERM dengan memposting posisi PERM di situs web pekerjaannya dan menerima lamaran secara digital. DOJ mengatakan Apple telah mengatasi beberapa masalah ini.
Baca Juga:
Rencana Apple Tahun 2024, Mau Jadi Pemimpin Teknologi Berbasis Kecerdasan Buatan Generatif
Selain Apple, DOJ juga menyerang SpaceX dengan gugatan diskriminasi perekrutan, menuduh perusahaan milik Elon Musk menolak mempekerjakan pencari suaka dan pengungsi.
Namun, SpaceX berhasil memblokir kasus tersebut dengan berargumen bahwa hakim administratif yang mengawasi kasus tersebut ditunjuk secara inkonstitusional.