Technologue.id, Jakarta - Operator seluler dan pengusaha penyedia layanan internet di Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan saat ini. Di tengah melambatnya pertumbuhan industri selular maupun jasa internet, mereka justru mendapatkan beban regulatory charge yang besar.
"Di sisi lain, mereka juga memiliki beban investasi yang mahal. Ketika investasi mahal, justru pelaku industri dipaksa menyediakan tarif internet yang murah," ujar CEO Selular Media Network, Uday Rayana di acara Selular Business Forum (SBF) 2023, Senin (27/11/2023).
Masalah tidak sampai di situ, pasalnya operator seluler dan para pengusaha jasa internet bakal dihadapkan pada kemungkinan masuknya operator berbasis satelit, Starlink. Perusahaan milik milik taipan Elon Musk itu, menargetkan peluncuran layanan telepon satelit komersial pada 2024.
Starlink bakal masuk dimulai dengan SMS sebelum menambahkan layanan suara dan data, serta konektivitas IoT pada 2025. Kehadiran Starlink yang dinilai sarat dengan privilege, tentu membuat industri selular semakin tidak sehat.
Sekjen ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia), Marwan O. Baasir menjelaskan dengan hadirnya Starlink tentu akan menimbulkan pro dan kontra.
Baca Juga:
Curhat ATSI Soal Industri Seluler Sedang Tidak Sehat
Untuk yang pro, Starlink coverage-nya sudah menjangkau seluruh wilayah Indonesia dan memiliki kapasitas data rate yang besar sehingga bisa dimanfaatkan untuk mendukung percepatan layanan internet broadband di wilayah yang belum terjangkau layanan broadband teresterial termasuk bisa dimanfaatkan oleh penyelenggara seluler sebagai backhaul.
“Untuk yang kontra, jika tidak diatur secara tepat, bisnis Starlink berpotensi bisa mengancam bisnis penyelenggara telko nasional seperti Seluler, Jartup dan penyelenggara satelit GSO,” ujar Marwan.
"Selain itu, harga berlangganan dan UE CPE masih mahal, Starlink belum memiliki izin penyelenggara Jasa ISP di Indonesia, dan Starlink masih memakai IP Global sehingga berpotensi ada isu PDP dan kedaulatan negara,” sambungnya.
Hal tersebut yang membuat ATSI juga mengajukan usulan kepada pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang semakin memberatkan operator seluler jika Starlink masuk.
“Usulannya lebih baik layanan Starlink masuk ke B2B, lalu harus kerjasama dengan penyelenggara satelit Indonesia, hingga harus memiliki Izin landing Right (Hak Labuh) dan Izin Jartup untuk layanan backhaul,” jelasnya.
“Starlink juga harus menggunakan Alokasi Penomoran IP Indonesia, harus membangun Server dan DRC di Indonesia dan comply terhadap Regulasi Lawfull Interception di Indonesia, dan sebagai penyelenggara jasa, Starlink harus dikenakan kewajiban untuk membayar BHP Tel dan USO,” imbuh Marwan.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengatakan pihak ISP (Internet Service Provider atau penyedia layanan internet ini harus siap jika Starlink masuk ke Indonesia. “Jika ditanya siap atau tidak siap, maka mau tidak mau anggota APJII yang jumlahnya 1013 ini harus siap jika Starlink masuk,” ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kementrian Kominfo, Aju Widya Sari mengatakan satelit internet sangat dibutuhkan di Indonesia lantaran masih banyak desa yang blankspot internet. “Baru 70 persen desa di Indonesia yang tercover internet dan sisanya masih blankspot,” kata Aju.
Baca Juga:
Beban Operator Telco Dituntut Jadi Penopang Ekonomi Digital
Aju menjelaskan biaya infrastruktur untuk membangun jaringan internet di Indonesia sangat tinggi dan dikeluhkan para operator. Hal tersebut yang membuat pemerintah dalam hal ini Kominfo beralih ke satelit internet. “Saat ini terdata 1020 desa dan masih banyak lagi yang mengajukan permohonan dari pemda-pemda untuk penanganan desa blankspot,” sambungnya.
Pengamat Telekomunikasi/Pengajar ITB/Mantan Komisioner BRTI, Agung Harsoyo ada catatan yang perlu dipertimbangkan untuk kebijakan satelit internet. “Tidak melakukan keputusan berupa pemberian izin baru, sebelum dilakukan kajian yang menyeluruh dan cermat oleh seluruh stakeholders terkait kepentingan nasional,” ujarnya.
“Bekerjasama dalam memberikan layanan telekomunikasi untuk wilayah unserved dan underserved sebagai prioritas utama. Memulai penerapan collaborative regulation : telekomunikasi, transaksi keuangan, pertahanan-keamanan, layanan Kesehatan, Pendidikan,” sambungnya.