Contact Information

Alamat: Komplek Rumah Susun Petamburan Blok 1 Lantai Dasar, Tanah Abang - Jakpus 10260

We're Available 24/ 7. Call Now.
Suara sumbang analis soal network sharing
SHARE:

Technologue.id, Jakarta - Analis dari Danareksa Research Institute, Kahlil Rowter mengomentari niatan pemerintah mempercepat penyebaran layanan telekomunikasi ke pelosok lewat network sharing alias berbagi jaringan operator telekomunikasi lewat revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.52 dan No.53 tahun 2000. Kahlil menyebut pemerintah seharusnya bisa lebih bijak mengatur mekanisme pemberian kompensasi yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya bagi operator yang telah lebih dulu membangun. Dalam analisanya, kompensasi wajar sesuai dengan nilai ekonomi mutlak diperlukan demi keberlangsungan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia terus terjaga. "Jadi pemerintah tak bisa semena-mena menetapkan kewajiban network sharing dan penetapan biaya interkoneksi tanpa adanya kompensasi secara komersial kepada operator yang telah membangun jaringan,” ujar Kahlil yang menjabat Chief Economist Danareksa Research Institute di Jakarta, Selasa (27/9/2016). Penetapan berbagi jaringan melalui mekanisme komersial, kata Kahlil, perlu diberikan pemerintah kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi yang telah lebih dulu bersusah payah membangun jaringan. Tanpa insentif dan kompensasi yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya, maka bisa dipastikan tak akan ada operator mau menambah dan memelihara jaringan telekomunikasi. Padahal, menurutnya, masih banyak wilayah di Indonesia yang belum terjangkau telekomunikasi. "Kecuali untuk public service obligation dan kepentingan nasional. Jangan sampai, karena pemerintah memaksa menyediakan jaringan untuk operator lain, membuat pelanggan Telkom tidak terlayani dengan baik. Kebijakan ini tidak boleh merugikan pelanggan," jelas Kahlil. Perhitungan yang wajar menurut Leonardo Henry Gavaza CFA, analis saham Bahana Securities, adalah dengan menghitung nilai investasi yang telah dikeluarkan oleh operator penyelenggara jaringan ditambah dengan internal rate of return (IRR) atau economic rate of return (ERR). "Kemarin perhitungan interkoneksi yang diajukan oleh Telkom Group mungkin sudah ditambah IRR, namun ditolak oleh regulator," ujar Leonardo pada kesempatan berbeda. Apabila pemerintah tidak memasukkan komponen IRR dalam penetapan network sharing, Leonardo menilai kebijakan tersebut malah bakalan mengganggu keberlangsungan pembangunan jaringan telekomunikasi. Hal ini dikhawatirkan membuat operator yang telah lebih dulu membangun, jadi tak memiliki competitive advantage lagi dikarenakan mereka hanya dipaksa membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi untuk operator lain. Leonardo menilai pembangunan infrastruktur telekomunikasi seperti backcone memiliki risiko yang tinggi, memakan investasi yang besar dengan imbal hasilnya sangat kecil. "Dengan adanya kewajiban berbagi jaringan, biaya investasi atau capital expenditure yang biasanya dikeluarkan Indosat dan XL dalam jumlah besar akan berkurang sangat signifikan," jelas Leonardo. Kehadiran kebijakan network sharing ini dianggap akan membuat operator lain dapat lebih fokus mengembangkan jasa layanan telekomunikasi daripada repot-repot membangun jaringan infrastrktur. "Tentu saja Indosat dan XL berpotensi mengambil pelanggan Telkomsel. Sehingga pendapatan Indosat dan XL berpotensi mengalami kenaikan yang signifikan," imbuhnya. Kondisi ini dinilai bisa memicu persaingan tidak sehat. Alih-alih bersaing membangun jaringan, operator yang baru masuk dengan cara hanya menumpang jaringan saja, bisa tiba-tiba merusak pasar dengan cara membanting harga. "Kita sebagai analis pasar modal tak menyukai jika terjadi perang harga karena membuat margin perusahaan turun," kata Leonardo. Prediksi Leonardo, EBITDA margin Telkom bisa terpangkas hingga 40%. Padahal EBITDA margin Telkom saat ini diatas 50%. Berapapun penurunan EBITDA margin akan berdampak kepada valuasi Telkom. Jika pendapatan Telkom turun, maka pajak dan deviden yang harus dibayarkan kepada pemerintah juga berpotensi tergerus. [caption id="attachment_106" align="alignnone" width="664"]Menkominfo Rudiantara Menkominfo Rudiantara[/caption] Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengaku telah menerima surat tembusan dari Menko Perekonomian terkait revisi PP No. 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP No. 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Kedua PP ini merupakan turunan dari UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator. Revisi kedua PP ini kabarnya telah berada di Sekretariat Negara untuk dilakukan pemeriksaan terakhir sebelum diajukan ke Presiden Joko Widodo untuk ditandatangani. Seperti dijelaskan Rudiantara, dalam surat tembusan itu menyatakan perlunya sharing atas infrastuktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mencakup backbone dan jaringan. Menteri yang akrab disapa Chief RA itu juga menjelaskan bahwa pemerintah akan menghitung nilai investasi dan nilai kompensasi atas pelaksanaan sharing per wilayah dan dalam pelaksanaan perhitungan dapat menugaskan auditor independen seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). "Aturan tersebut nantinya akan dituangkan ke dalam peraturan menteri," kata Rudiantara kemarin usai rapat dengan Komisi I DPR RI di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta. Baca juga : LINTASARTA TAMBAH LAGI DATA CENTER BERSTANDAR INTERNASIONAL DI SERPONG KEBIJAKAN NETWORK SHARING BUTUH ATURAN PENDAMPING TARIF INTERKONEKSI BARU DITAKUTKAN HANYA UNTUNGKAN OPERATOR SWASTA

SHARE:

Deretan Perempuan Punya Andil Besar dalam Pengembangan Teknologi

Free Fire Terancam Diblokir, PBESI Sarankan Batasan Usia Mengakses Game