Technologue.id, Jakarta - Elon Musk baru saja membuat penawaran untuk membeli Twitter seharga US$ 41 miliar. Tidak hanya itu, Musk juga akan menjadikan perusahaan publik itu menjadi miliknya.
Dalam rangka meraih simpati banyak orang, Musk melakukan "penelitian" mandiri tentang masalah kebebasan berbicara di Twitter dalam bentuk jajak pendapat.
Baca Juga:
Masa Depan Twitter Sulit Diprediksi Setelah Diakuisisi Elon Musk
Seperti yang dijelaskan Musk dalam wawancara TED Talks, menurutnya Twitter perlu memberikan aturan yang rumit bagi penggunanya dalam menyampaikan ekspresi dan pendapatnya.
"Jika ragu, biarkan pidato itu yang membuktikan. Saya tidak memiliki semua jawaban yang dibutuhkan." kata Musk.
Selanjutnya, sebuah working paper dari MIT dan Yale menemukan bahwa 80 persen orang Amerika berpikir perusahaan media sosial harus mengambil tindakan untuk mengurangi penyebaran informasi yang salah. Partai demokrat dan republican pun telah setuju dengan pandangan tersebut.
"Data kami menunjukkan bahwa [pandangan Musk] tidak representatif," kata David Rand, profesor ilmu manajemen MIT dan salah satu penulis studi tersebut. "Banyak orang di Lembah Silikon memiliki orientasi kebebasan berbicara yang ekstrem. Saya kira ini tidak sejalan dengan kebanyakan orang Amerika dan pengguna platform media sosial pada umumnya."
Working paper mengacu pada data survey yang dilakukan kepada 4.900 orang Amerika tentang moderasi konten di media sosial. Para peneliti bertanya tentang indikator platform yang ideal khususnya dalam hal berbagi informasi. Tidak hanya bertanya tentang indikator, para peneliti juga bertanya tentang satu kasus tertentu dari konten QAnon.
Studi menemukan bahawa masih banyak terjadi misinformasi yang relatif massif. Sebanyak 52,5 persen orang yang diidentifikasi sebagai "Republik Kuat" setuju bahwa perusahaan harus "berusaha mengurangi penyebaran konspirasi QAnon pada berbagai platform media sosial mereka."
Baca Juga:
Saham Twitter Terbang Tinggi, Bukti Elon Musk The Real Influencer
Studi lain juga menunjukkan bahwa publik berpikir perusahaan media sosial harus bertanggung jawab atas penyebaran informasi yang salah di platform mereka. Survei Pew tahun 2021 menemukan bahwa ada peningkatan dukungan di kalangan publik terhadap gagasan bahwa pemerintah harus campur tangan untuk mengurangi penyebaran informasi yang salah.
Di sisi lain, Jonathan Nagler, co-direktur Pusat Media Sosial dan Politik NYU, mengatakan itu adalah "studi yang bagus," meskipun ia melihat pengambilan sampel hanya dilakukan pada beberapa ribu orang, bukan puluhan ribu sebagai "batasan." Bagi Nagler, jumlah yang tidak representatif memungkinkan bias peneliti dalam survey yang dilakukannya.