Technologue.id, Jakarta - Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi bisnis, pemerintah, keluarga, maupun pribadi. IBM, sebagai sebuah perusahaan yang telah hadir di Indonesia sejak 1937, juga menghadapi tantangan yang jauh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Di tengah ketidakpastian bisnis dan juga kesehatan masyarakat secara global akibat pandemi, CEO IBM Arvind Krishna memutuskan untuk memposisikan perusahaan sebagai pemimpin di industri hybrid cloud secara global, dengan peluang bisnis senilai USD 1 triliun.
Di Indonesia, anggaran untuk cloud berkembang dengan pesat, perusahaan lokal berencana untuk melakukan modernisasi, dan bersaing di perekonomian global dengan memanfaatkan teknologi cloud, otomasi, AI, quantum, dan blockchain.
Tahun lalu, IBM mengakuisisi Red Hat, penyedia Linux open source terbesar di dunia untuk open hybrid cloud, seharga USD 34 miliar. Hal ini tentunya mendorong terjadinya banyak perubahan di IBM, terutama bagi perusahaan teknologi yang selama ini telah bekerja untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 75% perusahaan Fortune 100 dunia dan bisnis-bisnis besar di seluruh Asia.
Di sisi lain, penghematan biaya juga dilakukan perusahaan sebagai reaksi atas kondisi eksternal maupun atas keputusan sendiri sejak pandemi terjadi. Namun, saat ini penghematan biaya yang dilakukan perusahaan mulai melambat seiring dengan kebutuhan perusahaan untuk melipatgandakan investasi teknologi mereka agar tetap bisa bersaing di era "new normal". Hal ini dilakukan terutama agar bisa menghadapi segala tantangan di masa depan dengan memanfaatkan kelincahan berbasis cloud, pengeluaran biaya yang optimal, serta masukan berdasarkan data.
Menurut studi dari Institute for Business Value (IBV) tahun 2020, 16% pemimpin bisnis di Indonesia yang di survei mengatakan bahwa mereka telah mengalokasikan pengeluaran TI mereka ke cloud dan berencana untuk meningkatkan porsi pengeluaran untuk hybrid cloud dari yang saat ini 51% menjadi 57% pada tahun 2023. Di Indonesia, organisasi diperkirakan akan menggunakan rata-rata 11 cloud per organisasi dari vendor yang semakin banyak pada tahun 2023.
Untuk dapat memenuhi permintaan ini, IBM membagi perusahaannya menjadi dua bagian, agar sepenuhnya bisa menyelaraskan layanan kami dengan dengan kebutuhan klien dan pola pembelian mereka. Pada Oktober 2020, IBM mengumumkan rencana yang berani untuk melakukan spin-off atau memisahkan bisnis layanan infrastruktur terkelolanya menjadi entitas tersendiri pada akhir 2021. Mewakili 25% dari total pendapatan IBM sebanyak USD 80 miliar, 'NewCo' yang merupakan nama sementara akan menjadi perusahaan bisnis layanan infrastruktur mandiri terbesar di dunia dengan nilai bisnis sebesar USD 60 miliar dan total 4.500 klien.
Keputusan untuk melakukan spin-off dengan 'NewCo' diharapkan akan mendorong terciptanya dua perusahaan industri terdepan dengan fokus strategis dan fleksibilitas berbeda agar bisa meningkatkan nilai bisnis klien dan pemegang saham. Dalam siaran pers yang didistribusikan oleh IBM terkait hal ini, CEO IBM Arvind Krishna mengatakan, "Kebutuhan pembelian klien untuk aplikasi dan layanan infrastruktur semaking mengerucut, sementara adopsi platform hybrid cloud kami pun mengalami perceparan."
Analis industri dan keuangan memandang spin-off 'NewCo' sebagai sebuah inisiatif positif. "NewCo memiliki peluang untuk menjadi organisasi yang lebih gesit dalam menjalankan strategi yang terpusat pada platform terbuka serta berfokus pada cloud dan AI," kata Linus Lai, Wakil Presiden IDC Asia-Pasifik. "Ini merupakan hal penting bagi pelanggan dalam memilih penyedia layanan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jika dijalankan dengan baik, strategi spin-off IBM dan NewCo akan menciptakan perusahaan cloud dan AI inovatif terdepan di dunia, serta perusahaan pengelolaan layanan infrastruktur murni terbesar di dunia dengan kemampuan hyper-optimisation dan efisiensi sesuai skala kebutuhan."
Tidak asing dengan merger, akuisisi, dan spin-off besar, IBM memiliki pengalaman dalam melakukan transformasi struktural besar. Selain itu, IBM juga berpengalaman dalam melakukan reframing interaksi klien, pengembangan rencana masuk ke pasar, serta perubahan budaya yang diperlukan untuk keberhasilan transformasi. Transformasi bisnis membutuhkan ketangkasan di semua aspek organisasi, dan IBM mewujudkan hal ini dengan salah satu spin-off terbesar dalam sejarah perusahaan, dengan menciptakan perusahaan rintisan terbesar di dunia dalam waktu yang sangat singkat.
Tim layanan pengelolaan infrastruktur IBM merupakan pemimpin di industri pengelolaan infrastruktur hybrid tingkat dunia. Tim ini memiliki pengalaman teruji dalam hal merancang dan melaksanakan proyek migrasi cloud skala besar dengan tingkat kompleksitas tinggi untuk perusahaan di industri yang sangat teregulasi. Kepemimpinan Layanan IBM dalam hal ini telah diakui selama sembilan tahun berturut-turut oleh Gartner's Hybrid Infrastructure Services Managed Services Magic Quadrant Report karena IBM ditetapkan sebagai pemimpin setiap tahunnya sejak laporan mulai dibuat.
Saad Toma, IBM Asia Pacific Global Technology Services Leader mengatakan, "Kami melihat adanya percepatan dalam adopsi hybrid cloud sebagai akibat dari pandemi seiring dengan keputusan perusahan untuk melakukan modernisasi aplikasi, otomasi, dan pemanfaatan AI pada operasi bisnisnya. Klien kami menemukan bahwa memilih pendekatan open hybrid cloud memberikan nilai bisnis 2,5 kali lebih tinggi daripada hanya mengandalkan public cloud saja. Dengan demikian, kami meyakini bahwa spin-off ini akan memungkinkan IBM dan NewCo untuk lebih baik lagi dalam menyelaraskan diri dengan kebutuhan klien, dan juga untuk tumbuh lebih cepat, secara terpisah."
"Kami melihat bahwa percepatan adopsi cloud telah terjadi di Indonesia karena bisnis memerlukan kekuatan cloud untuk tetap bisa kompetitif di pasar. Adopsi cloud telah menjadi fitur utama dalam pengembangan model bisnis baru yang digerakkan secara digital. Semua itu didukung oleh keamanan, keahlian yang tak tertandingi dalam industri vertikal, dan komitmen mendalam untuk inovasi open source yang diharapkan klien dari IBM."