
Technologue.id, Malang – Ada satu hal paling menarik dari Pameran Virtual Museum Brawijaya V yang dihelat hari ini (25/11/16). Sejarah yang identik dengan kesan kuno, tradisional, hingga primitif bagi sebagian orang coba dikikis lewat pendekatan kolaborasi dunia digital yang cukup apik.
Bertempat di Gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya (UB), Malang, Pusat Studi Peradaban (PSP) UB berusaha mengangkat hasil riset, napak tilas, dan wawancaranya dengan para ahli terkait berbagai situs kerajaan Majapahit-Brawijaya melalui rancangan konsep museum berbasis digital. Mengandalkan virtual reality (VR) dan augmented reality (AR), pengunjung dikenalkan dengan multimedia interaktif dari situs-situs di Trowulan, Mojokerto, seperti Gapura Bajang Ratu, Candi Berahu, sampai Candi Tikus.
[caption id="attachment_10159" align="alignnone" width="673"] Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, M.S. mencoba VR di Virtual Brawijaya Museum (Ulwan/Technologue.id)[/caption]
Saat ditanya susahnya mengintegrasikan sejarah dengan teknologi, Gusti Pangestu menjelaskan, "Yang paling susah menggali sejarahnya, kalau bikinnya [multimedia] enggak susah. Karena kalau kita publish sesuatu, pasti ada orang yang setuju atau tidak. Namanya juga sejarah, kan."
Untuk mengantisipasi hal tersebut, tim PSP sebelumnya telah mengadakan focus group discussion (FGD) bersama para ahli ilmu sejarah untuk menyatukan pandangan-pandangan yang ada terkait sejarah yang diteliti. Salah satu contohnya adalah bagaimana buku-buku sejarah banyak menceritakan kalau Brawijaya V jatuh karena Kerajaan Demak.
"Tapi ada sejarawan yang tidak setuju. 'Enggak gitu mas, Indonesia dulu itu damai.' Menyatukan beragam pendapat ini yang susah," tambah Ketua Tim IT Virtual Museum Brawijaya itu.
[caption id="attachment_10164" align="alignnone" width="673"]