Technologue.id, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dibahas dalam rapat intern Komisi I DPR RI pada Maret 2024 menimbulkan kontroversi terkait pasal yang dianggap mencederai kebebasan pers.
Anastasya Andriarti, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie sekaligus pengurus nasional AJI menyoroti pasal 50B terkait pelarangan penayangan jurnalistik investigasi. "(Pasal itu) sudah banyak dibahas, bagaimana ini mengancam kebebasan pers, ini berarti kemunduran bagi demokrasi," ujar Anastasya dalam acara Diskusi Publik “Apa yang Salah dengan RUU Penyiaran?" di Gedung IASTH Lantai 6 Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (31/5/2024).
Ia mengatakan, tidak mudah menjalankan jurnalistik investigasi, bahkan memerlukan kolaborasi dan ini penting bagi publik untuk mendapatkan informasi yang disembunyikan atau mengungkap kejahatan.
"Ini penting untuk menjadi perhatian publik. Walaupun hari ini, setiap orang memproduksi konten, atau (menjalankan) komunikasi massa, tapi soal kualitas, verifikasi informasi berita atau disinformasi, semakin sulit hari ini," tuturnya, yang menjelaskan bahwa publik tetap membutuhkan media.
Baca Juga:
Soal Starlink, Operator Seluler Singgung Kesetaraan Aturan
Menurutnya media penyiaran memiliki kode etik yang menjadi standar kerja jurnalistik yang kredibel. Tidak hanya itu, ada dewan pers yang mengawasi kode etik jurnalistik serta melindungi kemerdekaan pers. Apa yang termaktub dalam RUU Penyiaran di pasal 50B menyinggung dewan pers yang mendorong kemerdekaan pers di Indonesia.
Bahayanya RUU Penyiaran ini, khususnya pasal yang kontroversial, akan menghambat kerja jurnalistik dan independensi pers. Padahal, dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 4 disebutkan di poin pertama bahwa Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.