Technologue.id, Jakarta – Hampir semua kalangan telah menggunakan media sosial saat ini, mulai dari yang anak kecil, remaja, orang dewasa, hingga lanjut usia. Dari karyawan kantor biasa sampai presiden juga. Namun, tahukah Anda, perancang media sosial memakai prinsip judi untuk mengelabui otak. Itu satu dari sekian alasan kenapa Anda sulit lepas dari Facebook, Twitter, hingga Instagram. Sifat adiktif dari media sosial ternyata merupakan hasil rekayasa. Menurut pengakuan para pekerja internal di Silicon Valley, sesuai yang dilaporkan oleh BBC.com (04/07/2018), perusahaan-perusahaan media sosial di sana "sengaja" membuat para penggunanya kecanduan terhadap layanan mereka, dengan menonjolkan sejumlah fitur favorit. Seperti yang kita ketahui, Silicon Valley menjadi markas utama perusahaan social media, seperti Facebook, Instagram, Twitter, Google, Path, dan masih banyak lagi. Fitur seperti Scroll dan Like, memicu orang melihat ponsel mereka lebih lama dari yang dibutuhkan. Kemampuan Scroll tanpa batas memungkinkan pengguna untuk menggeser konten tanpa henti dan tanpa harus mengklik. Hal ini memanipulasi otak pengguna untuk terus menggulir konten seluruhnya, dari atas ke bawah.
Baca juga:
Facebook Incar Hak Siar Liga Inggris
Sementara fitur Like kini menjadi fitur standar dan favorit yang ada di setiap media sosial. Konsep tombol Like sebenarnya sangat sederhana, yaitu memanfaatkan kebutuhan pengguna untuk mendapatkan feedback sosial. Kebutuhan kita terhadap pengakuan pengguna medsos lain telah menciptakan keterikatan kita kepada platform-platform medsos secara luar biasa. Setelah Facebook memperkenalkan tombol Like di tahun 2009, layanan berbagi video YouTube juga ikut beralih ke format Like/Dislike mulai 2010. Di tahun yang sama, Instagram ikut-ikutan menambahkan fitur serupa yang berlambang hati berwarna merah. Lima tahun setelah, Twitter mengadopsi "sistem hati" Instagram ke layanan mereka. Sejak saat itu, para programmer di Silicon Valley sudah mengutak-atik beragam cara memuaskan kehausan kita akan pengakuan dalam hubungan sosial dunia maya. "Seolah-olah medsos menaburkan zat kokain ke seluruh interface (aplikasi) Anda dan itulah hal yang membuat Anda suka kembali dan kembali dan kembali," kata Aza Raskin, founder Mozilla dan Jawbone. "Di balik setiap layar di ponsel Anda, biasanya ada ribuan engineer yang telah mengerjakan hal ini untuk mencoba membuatnya menjadi sangat adiktif," pungkasnya.Baca juga:
Anda Sekarang Harus Bayar Iuran Kalau Join Grup Tertentu di Facebook
Leah Pearlman, yang turut menciptakan tombol Like di Facebook dengan Justin Rosenstein, mengakui kepada BBC bahwa ia pun kecanduan layanan media sosial saat ia mencari berapa banyak Like di setiap postingan-nya. "Ketika saya membutuhkan validasi – saya mencoba memeriksa Facebook," katanya. "Aku merasa kesepian, 'Biarkan aku memeriksa teleponku.' Saya merasa tidak aman, 'Biarkan saya memeriksa telepon saya.'" Di luar dugaan, tahun lalu, Rosenstein mencatat bahwa tombol Like telah menyebabkan peningkatan clickbait. Ini karena Facebook telah memudahkan situs web untuk menambahkan tombol Like ke page mereka.Baca juga:
Ironi Facebook di Balik Kisah Instagram Raih 1 Miliar Pengguna
Di balik godaan media sosial yang membuat ketagihan, Facebook menepis tudingan yang menyebut benar-benar berusaha membuat platform yang adiktif. Mereka pada dasarnya selalu fokus menyajikan pengalaman yang paling menarik. "Facebook dan Instagram dirancang untuk membawa orang lebih dekat ke teman-teman mereka, keluarga, dan hal-hal yang mereka pedulikan," kata juru bicara Facebook dan Instagram. "Dengan platform ini, user bisa berhubungan dengan orang-orang tercinta yang tinggal jauh darinya, atau bergabung dengan komunitas orang-orang yang sesuai dengan minat Anda. Tujuan ini terletak di pusat setiap keputusan desain yang kami buat dan tidak ada tujuan untuk menimbulkan faktor adiktif dalam proses itu."